PENDAHULUAN
Setiap manusia mempunyai hak-hak universal yang
harus dijaga dan dihormati oleh satu sama lain. Untuk melindungi hak-hak
universal yang dimiliki oleh setiap manusia ini, akhirnya disepakati untuk
didirikan sebuah aturan yang berhubungan dengannya. Pada abad 17-an, HAM mulai
dideklarasikan di Inggris dan sejak itu pula, HAM mulai menjadi tema yang
menarik untuk diperbincangkan, bahkan sampai sekarang pun
perbincangan-perbincangan mengenai tema itu masih kerap kita temukan.
Memang dalam pandangan sebagian orang, pembahasan HAM
merupakan suatu hal yang sudah basi dan kurang menarik lagi. Walaupun demikian,
pada kenyataan yang kita temui, masih banyak informasi-informasi yang
mengabarkan tentang tema ini. Kenyataan hidup yang menunjukan adanya banyak
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompoklah yang
menjadikan pembahasan ini masih tetap hangat untuk diinformasikan.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan sangat bervariasi,
mulai dari pelecehan secara individu sampai pada perampasan hak asasi orang
lain. Hal ini bisa disebabkan karena adanya unsur kesengajaan maupun adanya
kurang pahamnya masyarakat tentang hal ini. Di belahan dunia Barat yang
didominasi oleh bangsa Eropa, pelanggaran-pelanggaran dalam masalah ini juga
sering terjadi, padahal jika kita kembali pada sejarah, deklarasi yang
berkenaan dengan HAM ini pertama kali dideklarasikan di daerah Inggris.
Oleh karena itu, tema-tema mengenai hal ini sangat
perlu untuk dipelajari pada tingkatan perguruan tinggi, mengingat pembahasan
pada masyarakat yang tidak ada henti-hentinya. Di dalam kehidupan ini, manusia
pastinya sangat berhubungan erat dengan HAM karena manusia menyandang hak-hak
kodrati yang tidak dapat diganggu gugat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis
merumuskan masalah makalah ini dengan satu pertanyaan, yaitu bagaimana tinjauan
hukum dan HAM mengenai masalah hukuman kebiri?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
dosen dan menyelidiki tinjauan hukum dan HAM mengenai hukuman kebiri.
TINJAUAN HUKUM DAN HAM MENGENAI HUKUMAN
KEBIRI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum adalah
(1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan
oleh penguasa atau pemerintah; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan)
mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; serta (4) keputusan
(pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan) atau vonis.
Jadi, hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan.
Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang
politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai
perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi
dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut
pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum,
perlindungan HAM dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka
yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali
keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan
antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan
peraturan atau tindakan militer. Filsuf Aristoteles menyatakan bahwa sebuah
supremasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan peraturan
tirani yang merajalela.
Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia
dalam masyarakat. Peraturan berisikan perintah dan larangan untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur
perilaku manusia agar tidak bersinggungan dan merugikan kepentingan umum.
Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga atau badan
yang berwenang untuk itu. Peraturan hukum tidak dibuat oleh setiap orang
melainkan oleh lembaga atau badan yang memang memiliki kewenangan untuk
menetapkan suatu aturan yang bersifat mengikat bagi masyarakat luas.
Penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Peraturan
hukum dibuat bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Untuk menegakkannya
diatur pula mengenai aparat yang berwenang untuk mengawasi dan menegakkannya
sekalipun dengan tindakan yang represif. Meski demikian, terdapat pula norma
hukum yang bersifat fakultatif/melengkapi. Selain itu, hukum memliki sanksi dan
setiap pelanggaran atau perbuatan melawan hukum akan dikenakan sanksi yang
tegas yang juga diatur dalam peraturan hukum.
Hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak
dasar yang dimiliki setiap manusia secara alamiah sejak mereka lahir sampai
meninggal dunia yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Seperti
dikemukakan oleh pengamat HAM, Donnely dan Nickel, bahwa pengakuan HAM secara
universal atas seperangkat hak asasi manusia itu, meliputi hak kebebasan sipil,
hak kebebasan politik, hak kebebasan dari penindasan, hak kebebasan dari
penahanan tanpa melalui pengadilan, hak perlindungan sebagai individu yang
mempunyai hak alamiahnya yang tidak dapat digugat dan direbut oleh siapa pun
atau dari pihak mana pun.
HAM merupakan sesuatu yang melekat pada semua
orang setiap saat, hak yang tidak dapat dibeli, dan hak yang dimiliki karena
semata-mata sebagai manusia yang bermartabat. Pada dasarnya, HAM menjadi suatu
konsep pengakuan atas hakikat dan martabat manusia yang dimiliki secara alamiah
dengan melihat manusia lain tanpa perbedaan. Pengertian itu membentuk suatu keyakinan
bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat mereka.
Jadi, berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dikatakan bahwa pengertian HAM bermula dari (1) kesadaran dan keinginan untuk
mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan, (2) kesadaran dan keinginan untuk
mengangkat dan mengingatkan adanya kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi,
serta (3) kesadaran dan keinginan untuk mengangkat dan mempertahankan moral
dasar dan hak-hak dasar kemanusiaan.
Kasus yang terlampir di dalam makalah ini adalah masalah
hukuman pengebirian kepada seseorang yang telah melanggar hukum, terutama yang
berkaitan dengan hukum seksual. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebiri
adalah sudah dihilangkan (dikeluarkan) kelenjar testisnya (pada hewan jantan)
atau dipotong ovariumnya (pada hewan betina) alias sudah dimandulkan.
Hal ini justru menentang hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang
tercantum di dalam UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 10
ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan
yang sah.”
Secara garis besar, ada dua jenis metode kebiri,
yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan
cara memotong organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis, sedangkan
metode hormonal dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, melainkan
dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri. Selain itu,
ada dua metode injeksi, yaitu diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon
testosteron dan diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri.
Akibat kekerasan seksual yang semakin meningkat,
maka ada wacana dari pemerintah dan masyarakat yang setuju hukum kebiri
diterapkan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual.
Penulis memperkirakan bahwa sanksi itu tidak menjamin pelaku akan jera, bahkan
dia dapat menjadi agresif dengan melakukan tindakan kekerasan lainnya.
Sebenarnya, kunci pemidanaan pelaku kejahatan seksual terletak pada hakim.
Hakimlah yang menjadi penentu hukuman setimpal bagi pelaku kejahatan seksual
dengan menjatuhkan hukuman maksimal. Selain itu, majelis hakim dapat menerapkan
pidana maksimal kepada terdakwa, tapi yang terjadi selama ini adalah hakim
membuat pelaku mengulangi perbuatannya karena vonisnya ringan.
Pro-kontra hukuman kebiri muncul setelah
pemerintah berencana menerapkan hukuman kebiri kepada pelaku pedofilia. Pihak
yang pro berargumen hukuman kebiri diperlukan karena kasus kekerasan seksual
sudah dalam tahap darurat. Sementara, pihak yang kontra menolak hukuman kebiri
berdasarkan beberapa argumen. Ada yang menolak karena mempertanyakan
efektivitasnya dalam menimbulkan efek jera dan ada juga yang beranggapan bahwa
hukuman kebiri tidak sesuai dengan hukum agama. Komisioner Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia juga meminta pemerintah untuk meninjau ulang rencana hukuman
kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual. Alasannya adalah pendekatan yang
digunakan aparat penegak hukum terkait rencana hukuman kebiri terhadap pelaku
kekerasan seksual cenderung kaku dan konservatif.
Dorongan seksual memang ada di dalam diri setiap
manusia, tapi dorongan itu hanya akan terjadi jika ada faktor-faktor pemicu
yang akan mengarahkan pada timbulnya sebuah rangsangan. Demikian pula dengan
penyimpangan seksual yang dikarenakan adanya suatu rangsangan seksual yang
kemudian dilampiaskan. Bukan secara nalurinya perilaku ini sudah menyimpang.
Salah satu faktor pemicu timbulnya dorongan seksual, baik yang menyimpang
maupun tidak, adalah adanya suatu rangsangan secara terus-menerus, terutama di
lingkungan, baik dari media-media yang secara terang-terangan membuka lebar
tubuh perempuan, gambar, video, atau film yang mudah merangsang birahi maupun
masyarakat yang mencontoh sikap atau gambaran yang ada di dalam media.
Sebenarnya, keputusan hukuman kebiri ini tidak
akan menyelesaikan masalah karena kita tidak dapat hanya berfokus pada hukuman
si pelaku saja, tapi juga memberikan pencegahan agar pelaku-pelaku lainnya
tidak ada. Dalam hal ini, kita akan menyelesaikan permasalahan ini dalam skala
panjang, bukan sedikit atau minimalis. Tentunya, hal ini tidak dapat dicegah
dengan berbagai alasan, seperti hak asasi manusia, karena aturan yang berlaku
saat ini adalah aturan yang mengedepankan kehidupan bebas (liberal) dan
mengesampingkan aturan agama terlebih jika sudah dikaitkan dengan aturan
pemerintah.
PENUTUP
Kekerasan seksual adalah masalah yang serius.
Pemerintah telah bertindak untuk menanggulangi permasalahan ini dengan cara
menghukum para pelaku kekerasan seksual dengan dikebiri. Namun, hukuman kebiri
ini telah menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat karena hukuman ini
dianggap telah menentang HAM tentang hak untuk berkeluarga dan melanjutkan
keturunan.
Ada berbagai macam perdebatan mengenai hal ini.
Mereka yang pro dengan hukuman kebiri menganggap bahwa hukuman ini perlu
diberlakukan agar para pelaku kekerasan seksual menjadi jera dan tidak berani
untuk mengulanginya lagi, sedangkan mereka yang kontra menganggap bahwa hukuman
ini justru akan membuat para pelaku menjadi semakin agresif lagi dalam
melakukan kekerasan seksual.
Karena banyaknya pro dan kontra ini, maka
pemerintah masih mempertimbangkan undang-undang yang mengatur tentang hukuman
kebiri ini. Namun, menurut penulis, hukuman kebiri ini tidak akan menyelesaikan
masalah kekerasan seksual karena kasus penyimpangan ini terjadi karena para
pelaku mempunyai masalah pikiran dan kejiwaan. Mungkin hukuman kebiri dapat
dijadikan salah satu cara untuk menghambat, bukan menyelesaikan. Agar
permasalahan ini selesai, maka pikiran dan kejiwaan si pelaku harus diperbaiki
terlebih dahulu, bukan memotong alat kelaminnya atau dikebiri.
Hukuman kebiri dapat dijadikan alternatif untuk
memberi aspek jera dan mengantisipasi perbuatan tersebut menimpa kepada orang
lain. Tentunya, kebiri bukan menjadi penyelesaian masalah secara utuh karena
tetap membutuhkan pendekatan keagamaan bagi pelaku dan korban. Hal ini
dikarenakan kekerasan seksual itu bukan penyakit kelamin, melainkan masalah
pikiran dan penyakit kejiwaan.
Oleh karena itu, solusi lain untuk menyelesaikan
masalah ini adalah pemerintah perlu menggiatkan lebih lanjut tentang pendidikan
agama, memberikan pendidikan seksualitas dan pendampingan secara psikologis
dengan lebih baik lagi. Hal ini sangat penting, khususnya bagi korban kekerasan
seksual, agar dia tidak menjadi predator di kemudian hari.
Simbolon, Laurensius Arliman. 2016. Perlindungan
Anak. Yogyakarta: Deepublish.
Wikipedia. “Hukum.” Diubah pada
15 Januari 2018. Diakses pada 24 April 2018.
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum.
Zeffry Alkatiri, Zeffry. 2010. Belajar Memahami HAM. Jakarta: Ruas.