STT Bethel Indonesia
RELIGI SUKU MURBA DI PAPUA
Pendahuluan
Dilihat dari penduduk Irian Jaya maka dapat
diketahui bahwa tidak merupakan kesatuan, tetapi menunjukkan suatu aneka warna
yang amat besar. Pada umumnya dapat dibedakan antara kebudayaan-kebudayaan dari
penduduk daerah di pulau-pulau dan pantai, penduduk rawa-rawa, penduduk
pegunungan Jayawjiaya dan masih banyak lagi yang dapat diketahui dari Papua.[1] Kelompok
pada pembahasan kali ini akan memaparkan mengenai salah satu suku di Papua
yaitu suku Dani, yang diawal ini kelompok sudah mengkategorikan sebagai suku di
daerah pegunungan. Selengkapnya dapat dilihat dalam pembahasan dibawah ini.
I.
Nama dan Bahasa[2]
Sebutan
“orang Dani” yang sekarang dipakai untuk menamakan penduduk Lembah Balim
sebenarnya tidak berasal dari penduduk asli lembah tersebut, tetapi merupakan
sebutan orang Moni, penduduk dataran tinggi Paniai untuk menyebut penduduk
lembah Balim. Nama yang artinya “orang asing” itu mula-mula berbunyi Ndani dan pertama kali didengar
digunakan oleh suatu ekspedisi yang terdiri dari orang-orang Amerika dan
orang-orang Belanda yang mengunjungi daerah tempat tinggal orang Moni dalam
tahun 1926. Setelah mengalami perubahan sedikit dengan fenom N, nama itu menjadi Dani dan masuk dalam kepustakaan etnografi.
Penduduk
Lembah Balim sendiri tidak mau menggunakan nama tersbut, dan menamakan dirinya
sendiri nit (akuni) Pallimeke, yang
berarti “kami (orang) dari Balim”. Meskipun penduduk Balim mula-mula tidak
setuju dengan pemakaian nama Dani, masyarakat umum seudah terlanjur memakainya
di dalam laporan-laporan dan karangan-karangan etnografi mereka, sehingga nama
itulah yang sekarang dipakai secara resmi.
Seluruh
penduduk Lembah Balim mengujar satu bahasa, yaitu bahasa Dani. Keluarga besar
bahasa Dani terbagi dalam tiga sub-keluarga bahasa, yakni sub-keluarga Wano,
sub-keluarga Dani Pusat, dan sub-keluarga Ngaglik-Dugawa. Selanjutnya,
sub-keluarga Dani pusat masih terbagi lagi ke dalam dua logat, yaitu logat Dani
Barat dan logat Lembah Besar Dani. Logat Dani Barat seringkali disebut bahasa Laany,
dan diucapkan oleh penduduk di Balim Utara, lembah Swart, Yamo, Nogolo, Ilaga,
Beoga, Dudindagu, Kemandaga, Bokondini, bagian atas dari Lembah Besar sekitar
Hulu sungai Hablifuri, sungai Kimbin, dan di Lembah Bele (Ibele). Logat Lembah
Besar Dani terdapat mulai dari daerah pegunungan piramida diatas Lembah Besar
hingga ke sungai Samenage di daerah perbatasan barat-laut, dan agak sedikit ke
bawah, disungai Wet di daerah batas timut laut.
Bahasa
Dani termasuk ke dalam kategori Western Highland Phylum yakni salah satu Phylum
atau keluarga bahasa-bahasa non-Austronesia di Irian Jaya dan Papua Nuigini.
II.
Lokasi dan Demografi
Ditengah-tengah
daerah Pegunungan Jayawijaya terbentang suatu lembah besar, yakni Lembah Balim,
yang memanjang dari arah barat ke timur. Panjang lembah itu kurang lebih 45 km,
dan lebarnya 15 km. tempat-tempat yang dihuni oleh manusia berada antara 1.600
m – 3.000 m diatas permukaan laut. Suhu rata-rata 14o C di malam
hari dan 15o C di siang hari. Curah hujan di sekitar darerah itu pun
sangat baik, bahkan untuk bercocoktanam.
Seperti
penduduk Irian Jaya lainnya, orang Dani juga termasuk dalam ras Melanesia,
dengan bentuk tubuh yang lebih pendek dan tegap, seperti penduduk pegunungan
Tengah Irian Jaya pada umumnya. Tinggi rata-rata seorang pria suku Dani adalah
157 cm dan perempuannya rata-rata 145 cm. Orang-orang suku Dani diperkirakan
menempati Lembah Balim sejak kurang lebih 7.000 sM (Heider 1979, hlm 23).
III.
Mata Pencarian
Dalam
hidup orang Dani selalu ada babi dan ubi manis, secara implisit hal itu
menunjukkan dua jenis mata pencarian hidup pokok orang Dani.
Ubi manis adalah
jenis tanaman utama dalam kebun-kebun orang Dani, yang menurut perkiraan
merupakan 90% makanan mereka. Dengan peralatan yang masih sederhana, yaitu
tongkat kayu berbentuk seperti linggis dan kapak batu, orang Dani mengerjakan
kebun di bagian-bagian yang rendah dan datar maupun di lereng gunung yang
sangat terjal.
Selain
bercocoktanam, orang Dani juga gemar berternak. Hewan yang paling banyak
diternakan oleh orang Dani adalah babi dan merupakan mata pencarian hidup yang
sangat penting orang Dani. Setiap pria dan wanita Dani memiliki sejumlah babi,
namun pemeliharaannya hanya dilakukan kaum wanita dan anak-anak saja. Babi
sangat penting dalam kehidupan orang Dani karena beberapa alasan, diantaranya:
1.
Dagingnya dapat dimakan.
2.
Darahnya digunakan untuk berbagai
macam upacara gaib.
3.
Tulang dan ekornya dibuat hiasan.
4.
Tulang rusuknya dibentuk menjadi
pisau untuk mengupas ubi.
5.
Alat kelaminnya diikatkan pada
gelang guna menolak roh jahat.
6.
Sebagai alat tukar, babi memiliki
nilai ekonomi, tetapi juga berguna untuk megukuhkan perdamaian dan persatuan
antarkelompok kerabat maupun antarkonfederasi dalam upacara-upacara pesta babi
yang besar.
IV.
Kelompok Kekerabatan
Kelompok
kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat orang Dani adalah keluarga luas yang
terdiri dari dua atau tiga keluarga inti saudara sekandung pria yang
bersama-sama menghuni suatu kompleks perumahan yang tertutup pagar yang biasa
disebut uma. Adat Dani menentukan
bahwa seoarang pria harus membawa istrinya ke tempat tinggalnya, sehingga suatu
uma seringkali dihuni oleh dua
generasi inti. Dalam antropologi, adat menetap sesudah nikah ini disebut adat
virilokal.
Kelompok
kekerabatan yang lebih besar daripada keluarga luas yang memenuhi satu uma adalah kelompok kekerabatan yang
memperhitungkan garis keturunan patrilineal, artinya melalui para warga prianya
sampai enam atau tujuh keturunan. Istilah bagi kelompok ini adalah ukul, yang berarti “kepala”, “hulu”,
atau “asal”.
Ukul-ukul yang masih satu keturunan biasanya tinggal di suatu wilayah tertentu
dari Lembah Balim, tetapi di wilayah itu juga tinggal sejumlah ukul lain yang juga satu keturunan. Tidak sedikit
pula dari ukul-ukul yang telah
tercampur dan membentuk nama sendiri meski masih berasal dari suku Dani.
V.
Berbagai Upacara dan Tradisi Suku Dani
Suatu
upacara yang sangat penting bagi kehidupan pria suku Dani adalah upacara inisiasi waya hagat-abin, yang
biasanya dilakukan secara kolektif untuk sekolompok anak usia 10 tahun lebih.
Walaupun jarang, ada juga anak berumur kurang dari lima tahun yang turut dalam
upacara ini. Acara dalam upacara inisiasi orang Dani terutama bertujuan untuk
menumbuhkan semangat berperang serta menanamkan pengertian mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan perang. Unsur-unsur upacara, seperti pemberian busur
panah yang dilakukan secara simbolik, latihan perang, latihan ketabahan,
pemberian pelajaran dan menyanyi yang berhubungan dengan perang, menunjukkan
fungsi dari upacara waya hagat-abin tersebut.
Berbeda dengan upacara inisiasi di tempat-tempat lain, upacara ini tidak bersifat
meresmikan pencapaian tingkat kedewasaan anak. Pada pesta-pesta yang
diselenggarakan dengan upacara ini, daging babi banyak dikonsumsi.
Anak-anak
wanita tidak menjalani upacara ini , tetapi pada saat mereka mendapat haid
pertama (eket-web) diadakan suatu
upacara yang dimeriahkan dengan pesta (hotale).
Pada pesta (hotale) darah haid
pertama itu dibersihkan dengan sapu rumput, yang kemudian dibakar sehingga
menjadi abu, lalu dibuang ke dalam sungai. Pada malam hari pesta yang hanya
dihadiri oleh wanita dan anak-anak wanita dilanjutkan dengan menyanyi, menari,
dan melompat-lompat bersama di dalam dapur panjang (lese). Keesokan harinya saat pagi mereka lanjutkan dengan bermain
lumpur sambil saling mengotori dengan lumpur, dan pesta diakhiri dengan mandi bersama
di sungai.
Seperti halnya
upacara inisiasi, upacara perkawinan biasanya juga dijadwalkan bersamaan dengan
penyelenggaraan pesta babi. Itulah sebabnya pada orang Dani akan sering dilihat
adanya perkawinan massal. Unsur-unsur yang penting dalam upacara perkawinan
adalah salah satunya upacara merias mempelai wanita (yokel isin), yang sudah dilakukan beberapa hari sebelum pertemuan
resmi dilakukan oleh mempelai pria bersama rombongannya, upacara makan daging
babi yang dilakukan kedua mempelai di tempat tinggal mempelai pria (wam palek palin), dan upacara sewaktu
sepasang mempelai masuk ke dalam rumah ebe-ae
untuk tidur. Upacara berlangsung selama kurang lebih 10 hari dan selama itu
tidak henti-hentinya makan, minum, menyanyi dan menari.
Berkaitan dengan upacara pesta
babi dalam suku Dani dilakukan tiga atau empat tahun sekali, pada waktu
yang berbeda-beda di setiap daerah di Lembah Balim atau lembah lainnya. Pesta
babi kadang-kadang hanya dilakukan dalam lingkungan kelompok yang kecil, seperti
dalam ukul, dan kadang-kadang dalam
kelompok besar, tergantung dengan kemampuan dan keberanian tokoh
penyelengaranya. Pesta babi ini pun biasanya dilakukan pada saat kondisi tidak
terjadi perang suku. Meski namanya upacara pesta babi tetapi dalam upacara
pesta babi itu kira-kira juga di korbankan 100 ekor babi, berton-ton ubi,
keladi dan bahan makanan lain.
Seperti
dalam semua kebudayaan di dunia, orang Dani juga mengenal upacara-upacara
sepanjang lingkaran hidup. Walaupun demikian, sifat keagamaan dari upacara
kelahiran, upacara pemberian nama, upacara memakai koteka bagi anak laki-laki
dan baju jerami bagi anak wanita untuk pertama kalinya, semua itu tampak tak
banyak mengandung unsur keagamaan.
Hal
yang kelompok soroti dalam upacara di suku Dani adalah upacara kematian, memang mengandung banyak unsur religi. Sama
dengan suku-suku yang diam di pegunungan Jayawijaya lain ,jenazah orang Dani
dibakar. Pada upacara itu jenazah diletakkan dalam sikap duduk di atas semacam
singgasana yang dihiasi dan diletakkan disuatu lapangan terbuka. Sebagai tanda
berkabung kaum wanita akan melumuri seluruh bagian tubuhnya dengan lumpur
putih. Pada tengah hari saat upacara itu masih berlangsung, seluruh keluarga
inti, menjalani ritual pemotongan seruas jari tangan mereka, yang dilakukan
oleh beberapa orang dukun, dengan menggunakan pisau bambu. Akhir-akhir ini
ritual pemotongan ruas jari banyak diperdebatkan dan sudah mulai dikurangi.
Sebagai
bagian dari upacara kematian, orang Dani membakar daging babi dalam lubang
pembakaran tanah, yang sebgian mereka sajikan kepada ame (roh) orang yang baru meninggal. Sore harinya sisa daging di
bakar itu dimakan bersama-sama sebelum mereka meninggalkan semua perhiasan yang
melekat pada jenazah yang kemudian dilumuri dengan gemuk babi dan setelah itu
dibakar, diiringi ratap tangis orang-orang yang hadir.
Suku Dani di
Papua mempunyai metode tersendiri dalam pemakaman jenazah. Di antaranya dengan
mengawetkannya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Tradisi pemakaman jenazah di dunia berbeda-beda.
Demikian pula tradisi yang dipegang teguh suku Dani di pelosok Papua. Mereka
menggunakan metode pengasapan untuk mengawetkan jenazah nenek moyangnya.[3]
Salah satu tradisi yang tidak lazim di
masyarakat suku Dani adalah tradisi
potong jari. Tradisi tersebut dilakukan dengan cara menunjukkan kesedihan
dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Mereka
melakukan potong jari untuk mengembalikan kembali perasaan sakit akibat
kehilangan. Bukan cuman satu jari saja yang dipotong, bahkan kadang sampai
semua jarinya dipotong. Namun dari beberapa sumber, tradisi ini hanya berlaku
bagi kaum wanita saja. Seiring berkembangnya jaman dan masuknya agama-agama,
tradisi potong jari ini sudah hampir ditinggalkan.[4]
Tujuan
dari upacara keagamaan orang Dani adalah (1) untuk kesejahteraan keluarga dan
semua warga masyarakat, dan (2) untuk mengawali dan mengakhiri perang. Doa-doa
yang diucapkan selama upacara berlangsung menunjukkan bahwa upacara adalah
untuk meminta pertolongan para nenek moyang agar mereka mendapat banyak babi,
agar mendapat istri yang cocok, agar dagangan mereka mendatangkan banyak
keuntungan, agar kebun-kebun memberi banyak hasil, agar kehidupan mereka tidak
diganggu berbagai penyakit dan sebagainya.
VI.
Religi Suku Dani
Diatas
telah dibahas mengenai berbagai upacara dan tradisi di suku Dani dan itu juga berkaitan
dengan religi, tetapi dasar dari religi orang Dani adalah penghormatan roh
nenek moyang, yang upacaranya dipusatkan pada pesta babi. Orientasi dan
konsep-konsep serta kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya ditujukan pada
kesejahteraan hidup dan peperangan konsep
keagamaan yang terpenting adalah atou
yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal.
Kekuatan sakti itu dapat diturunkan kepada anak-anak pria dan wanita, namun wanita
tidak dapat menurunkannya pada keturunannya. Atou dapat digunakan untuk menghukum pelanggaran pantangan atau
adat dan juga dapat pula menyembuhkan penyakit, menolak bahaya, meyuburkan
tanah, memberi kekuatan, tenaga, dan semangat hidup. Menurut keyakinan orang
Dani atou ini berada dalam nafas
seseorang dan oleh karena itulah menghembus adalah tindakan yang sering dipakai
dalam usaha menyembuhkan orang sakit, atau menyadarkan kembali orang yang
pingsan, dan sebagainya.
Mereka
yang diakui orang Dani sebagai nenek moyang adalah manusia-manusia yang nyata
dan pernah mereka kenal (walaupun samar-samar), yang menurunkan mereka melalui
garis patrilineal tiga atau empat angkatan di atas mereka. Lambang dari nenek moyang ini
adalah batu-batu keramat berbentuk kapak lonjong yang terasa licin, yang
disebut kaneke. Lambing ini disimpan
dalam honae dan dianggap sebagai
pusat kekuatan atou dan karena itu kaneke tidak boleh diperlakukan
sembarangan, dan pantang dipandang oleh wanita dan anak-anak. Kaneke hanya dikeluarkan pada waktu ada
upacara penting.
Suatu
konsep lain dalam religi suku Dani adalah Mo,
atau matahari. Peters menguraikan bahwa orang Dani sangat menghormati Mo, namun mereka seakan takut dan segan untuk membicarakannya dan berusaha
merahasiakannya. Walaupun demikian, tidak ada upacara-upacara penghormatan
matahari secara khusus. Ada dongeng-dongeng suci yang mengambarkan Mo sebagai
pencipta alam, dunia, serta segala isinya. Mula-mula Mo sangat dekat dengan kehidupan manusia, tetapi ketika manusia
saling bertengkar dan berperang, Mo mejauhkan
diri dan mencari tempat di langit.[5]
Daftar
Pustaka
1.
Koentjaraningrat.
1993. Masyarakat Terasing Di Indonesia. Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama
2.
Koentjaraningrat.
1999. Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Jakarta : Djambatan
3.
Deutsche Welle. Mumi di Suku Dani
Papua. Diakses dari http://www.dw.com/id/mumi-di-suku-dani-papua/g-37882563.
Dunia Kesenian. Mengenal Suku Dani dari Sejarah dan
Kebudayaannya. Diakses dari http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/08/mengenal-suku-dani-dari-sejarah-dan.html.
[2] Koentjaraningrat, Masyarakat Terasing Di Indonesia, (
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1993 ) hlm 270
[3] Deutsche Welle. Mumi di Suku Dani Papua. Diakses
dari http://www.dw.com/id/mumi-di-suku-dani-papua/g-37882563. 06 Mei 2017. 22:02 WIB.
[4] Dunia Kesenian. Mengenal Suku
Dani dari Sejarah dan Kebudayaannya. Diakses dari http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/08/mengenal-suku-dani-dari-sejarah-dan.html.
06 Mei 2017. 21:49 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar